dengki dan dendam kesumat musnah..
Teringat dengan nasyid melayu yang jadul itu membuat Na membuka kitab Ihya' Ulumuddin karangan Imam Al-Ghazali dan mencari-cari tentang apa itu marah, dengki dan dendam. Wah, kemarin topiknya sudah tentang marah.. sekarang tentang marah lagi ya? moga2 yang membaca jadi ga marah-marah.. amiin ya Allah
Nah, dibawah ini adalah tulisan yang Na ambil dari buku tersebut. Semoga bermanfaat ya teman-teman.. insya Allah..
Be ready for read it.. karna.. puanjaaaaang deh :D hehe
Bismillahirrahmaanirrahiim..
Tercelanya Marah
Abu Hurairah r.a meriwayatkan bahwa seseorang berkata kepada Rasulullah SAW., “ Wahai Rasulullah, perintahkanlah padaku suatu perbuatan dan saya sedikit melakukannya.” Rasulullah bersabda, “ Janganlah engkau marah.” Kemudian orang tersebut mengulangi lagi permintaannya. Beliau pun berkata, “ Janganlah engkau marah.”
Ibn Mas’ud r.a mengatakan bahwa Rasulullah SAW bertanya, “ Siapakah menurut kalian orang yang perkasa itu? “Kami jawab, “ Orang yang tidak dikalahkan oleh siapapun.” Maka Rasulullah SAW bersabda, “ Bukan itu. Melainkan orang yang perkasa itu adalah orang yang dapat menguasai dirinya ketika marah.”
Rasulullah SAW bersabda, “ Tidaklah seseorang marah, kecuali ia berada di tepi Jahannam.”
Hakikat Marah
Ketahuilah bahwa ketika manusia terancam kebinasaan, maka tetapnya ancaman itu menyebabkan marah. Marah adalah kekuatan yang menggelora dari batin. Maka Allah SWT menciptakan marah, dan memperbanyaknya di dalam bathin manusia. Sehingga jika ia marah, maka api amarah menyala dan berkobar. Api itu mendidihkan darah hati, lalu tersebar melalui pembuluh darah, kemudian naik ke tubuh bagian atas sebagaimana naiknya api atau air yang mendidih.
Demikian pula marah itu berpengaruh terhadap kulit sehingga menjadi merah. Jika ia marah kepada orang lain, lalu timbul rasa takut dan kesusahan, maka darah menjadi mengerut dan muncullah kesedihan. Maka kulitnya berubah menjadi kuning. Jika darah itu berubah-ubah di antara mengerut dan memuai, misalnya, maka kadang-kadang kulitnya menjadi kuning dan kadang-kadang menjadi merah, serta pucat. Pendek kata, tempatnya marah adalah di dalam hati. Yaitu, mendidihnya darah di dalam hati karena menuntut pembalasan.
Di dalam hal itu, manusia memiliki tiga tingkatan, yaitu:
Pertama, at-tafrith, yaitu ia kehilangan kekuatan ini atau memilikinya tetapi lemah. Hal itu adalah tidak adanya kobaran. Itu adalah tercela. Inilah yang dimaksud dengan perkataan Al-Syafi’I; “Barangsiapa yang dibuat marah tetapi tidak marah, maka ia adalah keledai.”
Kedua, al-I’tidaal (keseimbangan). Inilah yang dikehendaki. Hal itu adalah yang Allah SWT sifatkan tentang para sahabat r.a. .. bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih saying di antara sesama Muslim.. (QS. Al-Fath: 29)
Ketiga, al-ifraath (berlebihan). Yaitu, melampaui batas. Maka marah menguasain dirinya sehingga tidak dapat dikendalikan akal dan rambu-rambu syari’at. Orang yang seperti itu adalah yang ditundukkan. Ini pun tercela. Secara lahir tampak berubah dan jelek, sementara bathinnya lebih jelek lagi.
Diriwayatkan bahwa sekali waktu A’isyah r.ha marah, maka Rasulullah SAW bersabda, “Setanmu telah datang.” Maka A’isyah r.ha bertanya, “ Apakah engkau pun punya setan?” Rasulullah SAW menjawab, “ Benar. Namun aku memohon kepada Allah, lalu Dia menolongku terhadapnya. Maka dia masuk ke dalam agama Islam. Sehingga tidaklah ia memerintah selain kebaikan.”
‘Ali r.a berkata, “ Rasulullah SAW, tidak pernah marah karena urusan dunia. Jika beliau marah karena kebenaran, maka tidak ada seorang pun yang mengenalinya. Tidak muncul suatu apapun karena marahnya, kecuali ia mengalahkan marahnya.”
Ketahuilah, jika marah tidak dapat dihilangkan secara keseluruhan, maka setidaknya dapat dikurangi dan dikendalikan, khususnya jika bukan pada keperluan penghidupan. Hal itu adalah dengan mengenali nafsu dan kerendahannya, serta menyadari bahwa tidak sepatutnya ia memiliki ketinggian bersama kerendahan itu.
Mengobati Marah Ketika Berkobar
Diantaranya adalah mengetahui pahala menahan marah, sebagaimana telah dijelaskan. Kemudian mempertakuti dirinya dengan siksaan Allah SWT. Hendaknya ia mengetahui bahwa Allah SWT lebih berkuasa terhadapnya daripada dirinya terhadap orang lain.
Hendaklah ia mewaspadai dirinya terhadap akibat pembalasan, karena musuh pun bersiap-siap untuk menyakitinya. Maka jadilah hal itu permusuhan yang berkepanjangan. Sepatutnya ia memperhatikan jeleknya rupa orang lain ketika marah dan bermuka masam kepadanya. Ia pun hendaknya mengetahui bahwa orang yang sedang marah itu menyerupai binatang buas. Tetapi jika ia bersikap ramah, maka ia menyerupai para nabi dan para wali.
Jika ia memperhatikan, maka ia mengetahui bahwa marahnya berjalan atas kehendak Allah SWT, bukan atas dasar kehendaknya. Karena itu, disebutkan di dalam hadits bahwa itu merupakan sebab kemurkaan Allah SWT. Jika engkau telah mengetahui hal-hal ini, maka hendaknya mengucapkan: “ A’udzubillaahi minnasy syaythaanir rajiim” (aku berlindung kepada Allah dari bisikan setan yang terkutuk). Demikianlah Rasulullah SAW memerintahkan agar membaca doa ini ketika marah.
Ketika A’isyah r.ha marah, Rasulullah SAW menarik hidungnya, lalu berkata, “ Ya Allah, Tuhan Muhammad, ampunilah dosaku, hilangkanlah amarah hatiku dan selamatkanlah aku dari kesesatan fitnah yang tampak dan yang tersembunyi.”
Ucapkanlah doa itu, dan duduklah jika marahnya dalam keadaan berdiri, dan berbaringlah jika marahnya dalam keadaan duduk.
Rasulullah SAW bersabda, “ Marah itu adalah bara yang menyala di dalam hati. Tidakkah kamu lihat bengkaknya urat leher dan merahnya mata. Siapa saja dari kamu yang mendapati hal seperti itu, maka jika ia sedang berdiri, duduklah dan jika ia sedang duduk, tidurlah. Jika masih seperti itu, maka berwudhulah dengan air dingin atau mandi, karena api hanya dapat dipadamkan dengan air.”
Tercelanya Hasad
Hasad merupakan akibat dari dendam. Dendam merupakan akibat dari marah. Rasulullah SAW bersabda, “ Hasad memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar.”
Hakikat hasad adalah membenci kenikmatan Allah SWT kepada saudaranya, maka ia menginginkan kenikmatan itu hilang darinya. Jika ia tidak membenci hal itu bagi saudaranya, maka tidak menginginkan kehilangannya, tetapi menginginkannya untuk dirinya sebagaimana yang ada pada saudaranya. Hal semacam itu disebut ghibtah. Rasulullah SAW bersabda, “ Orang mukmin bersifa ghibtah dam orang munafik bersifat hasad.”
Allah SWT berfirman, sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang timbul dari diri mereka sendiri (QS. Al-Baqarah: 109)
Ayat di atas menagbarkan bahwa keinginan mereka agar hilang kenikmatan iman merupakan hasad.
Di dalam ayat lain Allah SWT berfirman, dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan llah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain (QS. An-Nisaa: 32)
Yang dimaksud dalam ayat di atas adalah larangan terhadap keinginan berpindahnya kenikmatan itu kepadanya. Adapun berharap agar Allah SWT memberikan kenikmatan seperti itu kepadanya, maka hal itu tidaklah tercela. Jika dalam urusan agama, maka hal itu terpuji.
Ketahuilah bahwa hasad memiliki banyak sebab, yaitu permusuhan, ingin disanjung, kebencian, kesombongan, ujub, ketakutan hilangnya maksud-maksud yang diinginkan, cinta, kekuasaan, kotornya jiwa, dan kebakhilan. Semua itu tercela.
Cara mengobatinya, yaitu dengan mengetahui bahwa hasad adalah berbahaya bagimu di dunia dan akhirat. Bahayanya di dunia, engkau merasa sakit karenanya. Hal itu akan menjadi teman tidurmu yang tidak akan berpisah siang dan malam. Adapun bahayanya dalam agama, hal itu berarti kebencian terhadap nikmat Allah SWT., maka orang yang mendapat nikmat itu mendapat pahala, sementara dosa dituliskan bagimu karena engkau hasad terhadapnya. Jika engkau mengetahui hal itu, dan engkau tidak menjadi sahabat bagi musuhmu, maka engkau harus menmaksakan diri menanggalkan hasad.
Al-Hasan meriwayatkan secara marfu’ dan mauquf bahwa Rasulullah SAW bersabda, “ Ada tiga hal pada diri orang mukmin, dimana ia mempunyai jalan keluar darinya. Adapun jalan keluarnya hasad adalah hendaknya ia tidak berbuat durhaka.”
wallahu a'lam bisshawwab..
****************************************************************************
Jadi,
sudahkah kita me-manage emosi kita
sesuai dengan sunnahnya Rasulullah SAW ?
No comments:
Post a Comment